7 oktober 2011 (Pengajian bersama Syaikh al-‘Abbad dan putranya Prof. DR. ‘Abdur-Razzâq )
Pada catatan sebelumnya telah dibahas mengenai shalat arba’in, jadi selama seminggu di Madinah, intinya, yang kita lakukan adalah berjama’ah shalat setiap waktu. Sejak awal kita sudah mempersiapkan diri jangan sampai ada satu waktu pun yang terlewat. Seandainya selama di tanah air bisa terus seperti ini, mungkin kita tidak perlu motivator untuk mendisiplinkan diri.
Di madinah, sangat terasa sekali ‘keteraturan hidup’. Hal ini membuat suasana hati dan jiwa tenang dan semangat menjalani hari. Perasaan ini bukan hanya saya saja tapi hampir setiap jama’ah, yang curhat, merasakan hal yang sama. Subhanallah wal hamdulillah walailaha illallah wallohu’akbar, hanya ucapan itu yang bisa kami katakan untung mengungkapkan kenikmatan selama berada di Madinah ini. Kita sangat hapal dengan waktu-waktu shalat bahkan jauh sebelum adzan berkumandang kita sudah bersiap-siap untuk berangkat berjama’ah ke mesjid
Kita selalu berusaha bisa duduk di shaf terdepan agar mudah nanti kalau mau langsung ke raudhah dan ziarah ke Makam Rasulullah SAW. Di dalam mesjid banyak halaqah-halaqah ilmu. Salah satunya tiap ba’da shalat ashar. Selesai salam, rata-rata para santri langsung berkerumun mengitari kursi sang syekh, kemudian diikuti jama’ah lain yang tertarik untuk mengikuti pengajian ini. Diantara kerumunan yang mayoritas berwajah arab, ketika itu ada satu orang yang pakaiannya ala arab tapi wajahnya melayu. Saya pun duduk disampingnya dan mengikuti pengajian tersebut.
Selesai pengajian saya pun berkenalan dengan santri melayu tersebut, nama nya Aan Chandra, dia juga tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Pertama saya bertanya nama Syekh yang tadi mengajar, katanya beliau bernama Prof. DR. ‘Abdur-Razzâq bin ‘Abdil Muhsin bin Hamad bin ‘Utsmân al-‘Abbâd Alu Badr Putra salah seorang Muhaddist senior yaitu asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad bin ‘Utsman al-‘Abbad Alu Badr
Tidak banyak yang bisa saya catat dari pengajian bersama Prof. DR. ‘Abdur-Razzâq, diantaranya, Hadis nabi innallaha katabal ihsan 'ala kulli syaiin. Idza qotaltum fa ahsinu al kitlah, wa idza dzabahtum faahsinu al dibhah kemudian Ada ihsan ilal kholiq, an takuna tarohu, fain lam takun taroh fainnahu yarok Ihsan fi mu'amalatil makhluk, ihsan lilwalidain, lil ziron, dalam hadis ini ihsan lilbahimatil 'an'am. Jadi kata beliau islam itu mewajibkan (kataba =aujaba) berbuat baik pada siapapun dan pada apapun
Kemudian ba'da magrib saya diajak mendengarkan penjelasan Sohih Bukhori bersama Syekh Al’Abbad ayahnya Prof DR ‘Abdur-Razzâq. Subhanallah saya sangat kagum mendengar cerita beliau tentang keluasan ilmunya, ketawadhuannya dan lain-lain. Sangat perlu dicontoh karena tidak mudah melahirkan putra seorang ulama dan keluarga yang cinta ilmu. Oleh karena itu insya Allah pada catatan kali ini kita akan membahas mengenai biografi kedua ulama tersebut. Mudah-mudahan ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil.
Prof. Dr. ‘Abdur-Razzâq bin ‘Abdil Muhsin bin Hamad bin ‘Utsmân al-‘Abbâd alu Badr
Prof DR ‘Abdur-Razzâq lahir di Zulfa (300 km dari utara Riyadh) pada hari Rabu, 22 Dzulqo’dah 1382 yang bertepatan dengan 17 April 1963. Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di sekolah yang diasuh oleh ayah beliau sendiri. Beliau mengambil pendidikan hingga sampai kepada tingkatan doktoral dalam bidang Aqidah. Beliau adalah salah seorang professor dan guru besar serta staff pengajar Pasca Sarjana di Islamic University of Madinah jurusan Aqidah sampai hari ini.
Syaikh ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd memiliki karya tulis yang cukup banyak, diantaranya adalah : Fiqhu ad-Da’iyah wal Adzkâr, Al-Haj wa Tahdzîbun Nufus, Tadzkirotul Mu`tasî Syarh ‘Aqîdah al-Hâfizh ‘Abdil Ghonî al-Maqdisî, Syarh Hâsiyah Abî Dâwud, Al-Atsar al-Masyhûr ‘anil Imâm Mâlik fî Shifatil Istiwâ’, Al-Qoulus Sadîd fîr Raddi ‘ala Man Ankara Taqsîmat Tauhîd, At-Tuhfatus Sanîyah Syarh Manzhûmah Ibnu Abî Dâwud al-H^a’iyah, dan lain-lain.
Syaikh ‘Abdur-Razzâq ini terkenal dengan sifat ketawadhuannya. Abu Abdil Muhsin Firanda dalam sebuah artikel yang berjudul Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr memaparkan beberapa bukti terkait dengan hal ini. Diantara sifat-sifat syeikh yang disebutkan oleh Firanda yaitu menolak penulisan gelar, menolak tersohor dan menyembunyikan tangis untuk menjaga keikhlasan.
Ketika salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, Syaikh ‘Abdur-Razzâq mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor.
Suatu waktu Syaikh ‘Abdur-Razzâq mengisi pengajian di Masjid Nabawi dan menyampaikan materi tentang berbakti kepada kedua orang tua. Tiba-tiba nada suara beliau berubah seperti orang yang hendak menangis. Beliau pun terdiam beberapa menit. Kemudian, beliau memberi isyarat seakan-akan beliau hendak minum.ternyata beliau berusaha menutupi tangisan dengan minum air agar tidak ketahuan oleh para hadirin.
Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad bin ‘Utsman al-‘Abbad Alu Badr
Beliau terkenal dengan nama Syekh ‘Abdul Muhsin al’Abbad, Muhaddits senior abad ini sang ayah sekaligus guru Prof DR ‘Abdur-Razzâq. Syekh al’Abbad lahir setelah sholat Isya’ pada malam Selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 1353H di ‘Zulfa’ (300 km dari utara Riyadh). Beliau tumbuh dan dewasa di desa ini dan belajar baca tulis di sekolah yang diasuh oleh masyaikh Zulfa. Beliau senantiasa dalam peringkat satu mulai dari awal belajar beliau hingga beliau lulus dan mendapatkan ijazah dari Ma’had ‘Ilmi dan Kuliah Syari’ah di Riyadh.
Syaikh al’Abbad sangat antusias di dalam menimba ilmu baik di Universitas maupun di masjid-masjid, beliau banyak belajar dari para ulama besar semisal Imam Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Imam ‘Abdul Aziz bin Baz, al-‘Allamah Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, al-‘Allamah ‘Abdurrahman al-‘Afriqi, al-‘Allamah ‘Abdurrazaq ‘Afifi, al-‘Allamah Hammad al-Anshari dan lainnya rahimahumullahu ajma’in.
Pada tahun 1393 H, Syaikh diangkat sebagai wakil rektor Universitas Islam Madinah dan rektor Universitas Islam pada saat itu adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Setelah Imam Ibnu Baz menjadi kepala Lembaga Buhutsul ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Pembahasan Ilmiah dan Fatwa), maka Syaikh ‘Abdul Muhsin yang menggantikan kedudukan beliau di Universitas Madinah sebagai rektor.
Ketika Syaikh ‘Abdul Muhsin menjadi rektor di Universitas Islam Madinah, perpustakaan Universitas benar-benar kaya dengan warisan salaf berupa makhthuthat (manuskrip-manuskrip) yang mencapai 5.000 manuskrip. walaupun menjadi seorang rektor Universitas, beliau tidak pernah absen mengajar dua kali seminggu di Fakultas Syari’ah dan lebih sering melakukan tugasnya sendiri dan lebih sering menghabiskan waktunya di Universitas, mulai pagi hingga sore.
Syaikh memiliki kurang lebih 40 karya ilmiah dua diantaranya adalah Aayaatu Mutasyaabihaatu al-Alfaazh fil Qur’anil Karim wa Kaifa Tamyizu Bainahuma dan Isyruuna Hadiitsan min Shahihil Bukhari Dirosatan Asaniidihaa wa Syarhan Mutuniha. Dan banyak juga pengajian-pengajian beliau yang direkam oleh Tasjilat Ibnu Rajab di Madinah, Al-Asholah di Jeddah, Sabilul Mu’minin di Dammam dan Minhajus Sunnah di Riyadh.
Akhirnya saya hanya bisa mengucap syukur yang tak terhingga bisa bertemu dan menimba ilmu walaupun hanya sebentar sama kedua syekh ini. Sungguh pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya, semoga dengan pemaparan 2 biografi syekh ini bisa menginspirasi kita dan memberikan motivasi yang kuat untuk mencari, mengamalkan, dan mencintai ilmu sebagaimana para ulama kita dahulu, hasbunalloh wani’mal wakil, kita cukupkan dulu catatan kali ini, insya Allah catatan perjalanan haji ini masih akan berlanjut dengan part-part berikutnya, semoga...
0 komentar:
Posting Komentar