Konflik
bukan lagi barang antik atau benda langka, ia sudah jadi konsekwensi dari
sebuah interaksi. Begitupun dengan sengketa, acapkali mengada membutuhkan
solusi lebih dari sekedar mediasi. Sengketa menyentuh semua lembaga tak
terkecuali Industry perbankan dan keuangan syari’ah di Indonesia. Bagaimanakah
cara menyelesaikan sengketa tersebut? Apa saja isu dan tantangan yang terkait
dengannya? Dr Abdul Rasyid pada diskusi ISEFID edisi 2 November 2012 akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan mengupas ranah hukum yang
menyertainya.
Kerangka
hukum perbankan dan keuangan syari’ah di Indonesia bermula dari undang-undang no
7 tahun 1992 yang mengizinkan Bank beroprasi dengan system bagi hasil dan
transaksi non-ribawi, kemudian UU no 10 tahun 1998 mengizinkan Bank
konvensional membuka unit perbankan syariah, sampai dengan UU no 21 tahun 2008
yang menyediakan basis hukum yang jelas tentang perbankan syari’ah.
Mekanisme
penyelesaian sengketa pada industry perbankan dan keuangan syari’ah bisa dengan
dua cara yaitu melalui proses pengadilan, dalam hal ini peradilan agama dan
non-pengadilan. Hal ini tertuang dalam UU no 21 tahun 2008. Disamping peradilan
agama, dalam pasal 55 ayat 2 bahkan disebutkan juga beberapa alternative lainnya
yaitu melalui Musyawarah, Mediasi perbankan, Badan Syari’ah Arbitrase Nasional
(BASYARNAS) atau institusi arbitrase lainnya, dan yang terakhir melalui badan
peradilan umum dan peradilan sipil.
Pasal
tersebut mengundang pro dan kontra. pro terhadap pemberian wewenang pada
BASYARNAS yang diprakarsai oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) namun kontra
terhadap wewenang yang diberikan pada peradilan umum, sipil dan badan arbitrase
lainnya karena seolah-olah meng-underestimate peradilan agama. Ia dianggap
belum mampu menyelesaikan sengketa pada industri perbankan dan keuangan syari’ah
karena sebelumnya peradilan agama hanya mengurusi personal matters
seperti nikah, talak, waris dan lain-lain. Peradilan agama pun mulai berbenah
supaya lebih siap menghadapi kasus sengketa pada industri perbankan dan
keuangan syari’ah. Dari 3,390 hakim, lebih dari 500 hakim mendaftar master dan
Phd pada bidang business law and Islamic economics.
Dalam
empat tahun terakhir, hanya Sembilan kasus yang sampai pada peradilan agama. Dua
diantaranya sampai pada mahkamah agung yaitu kasus H. Effendi bin Rajab &
Drs. Fitri Effendi binti Munir vs Bank Bukopin Syariah & Ors [2009] dan PT.
BPR Syariah Buana Mitra vs Herman Rasno Wibowo bin Sodirin and Harni binti H.
Ahmad Sudarmo (2009). Dari tahun 1993 sampai tahun 2010 ada sekitar 18 kasus yang
dibawa ke Badan Syari’ah Arbitrase Nasional. Angka ini terbilang sedikit
mungkin karena sengketa yang ada bisa diselesaikan lewat musyawarah atau
mediasi.
Tantangan
dalam mekanisme penyelesaian sengketa di industri Perbankan dan industri
keuangan syari’ah di Indonesia adalah adanya overlapping power antara
peradilan agama dan peradilan sipil. Hal ini disamping menimbulkan potensi
konflik antara 2 jurisdiksi yang berbeda juga menyebabkan adanya ketidakpastian
hukum yang berimbas pada lambatnya perkembangan industri perbankan dan keuangan
syari’ah di Indonesia. Sehingga Dr Abdul Rasyid pada diskusi isefid kali ini
merekomendasikan bahwa pasal 55 ayat 2 UU no 21 tahun 2008 harus dicabut. Terakhir
beliau pun berpesan bahwa peran BASYARNAS harus terus ditingkatkan sehingga
semua persengketaan bisa diselesaikan dengan baik dan tentunya sesuai dengan
ketentuan syari’ah.
0 komentar:
Posting Komentar