RSS
Write some words about you and your blog here

SEMANTIK AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU

SEMANTIK AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU
Oleh: Irfan Soleh

Malam tadi saya baca buku relasi tuhan dan manusia karangan Toshihiko izutsu, walaupun bacanya belum selesai paling tidak ada catatan yang saya anggap penting dari pembahasan awal buku tersebut, bagi yang ingin mengetahui siapa sih Toshihiko Izutsu itu? Kemudian apa yang dimaksud dengan metode semantik al qur’an? Simaklah catatan yang sangat ringkas ini mudah-mudahan bisa bermanfaat dan insya Allah kedepan akan saya tambah lagi pembahasannya

Toshihiko izutsu (4 mei 1914-1993) adalah profesor universitas dan penulis banyak buku tentang keislaman dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institute of Cultural and Linguistic studies pada Keio University di Tokyo, the Imperial Iranian Academy of Philosophy di Tehran, and universitas McGill di Montreal. Pendekatannya dalam mengkaji agama adalah linguistik dan beliau menggunakan ilmu humaniora/sosial lebih ekstensive dari pada pendekatan yang berdasarkan pada keimanan. Dia dilahirkan dalam keluarga kaya di jepang. Sejak usia dini beliau sudah akrab dengan koan dan meditasi zen.

Beliau belajar di fakultas ekonomi universitas kairo tetapi dipindahkan ke departemen sastra inggris atas instruksi dari prof junzaburo nishiwaki. Dia menjadi assisten peneliti pada tahun1937, kemudian lulus dengan meraih gelar B.A.
Atas saran dari shumei okawa. Dia belajar tentang islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau. Pada tahun 1958, beliau menyelesaikan terjemahan qur’annya yang pertama kali dari bahasa arab ke bahasa jepang.

Terjemahannya masih renownwd untuk akurasi linguistiknya dan banyak digunakan untuk tugas-tugas akademik. Beliau sangat berbakat dalam belajar bahasa asing dan beliau sanggup menyelesaikan membaca alqur’an dalam satu bulan setelah ia belajar bahasa arab
Menurut izutsu Alqur’an bisa didekati dengan sejumlah cara pandang/pendekatan yang beragam seperti teologi psikologi,sosiologi, tata bahasa dan lain-lain namun dari sekian banyak pendekatan yang ada beliau konsisten menggunakan pendekatan linguistik khususnya semantik alqur’an

Izutsu menggunakan metode analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan yang disediakan oleh kosa kata al-qur’an yang berhubungan dengan beberapa persoalan yang paling kongkrit dan melimpah yang dimunculkan oleh bahasa al-qur’an.Yang dimaksud semantik dalam kajian izutsu disini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu , tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir , tetapi lebih penting lagi , pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya

Semantik dalam pengertian itu adalah semacam weltanscauung-lehre, kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada peeriode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal kedalam kata-kata kunci bahasa itu
Sehingga kalau kita terapkan dalam al-qur’an menjadi “semantik al-qur’an” harus difahami hanya dalam pengertian weltanschauung alqur’an atau pandangan dunia qurani, yaitu visi qurani tentang alam semesta. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari alqur’an dengan penela’ahan yang analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep yang tampaknya memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi qur’an terhadap alam semesta

TRY TO BE BETTER

TRY TO BE BETTER
Oleh: Irfan Soleh

Pagi yang indah di hari minggu yang cerah, alhamdulillah aku bisa merasakan dan menyaksikan indahnya sang fajar dimana biasanya mata ini tertutup terserang penyakit ngantuk. Benar sekali ungkapan yang berujar the chance never come twice kesempatan tidak akan datang 2 kali, sehingga jangan sampai kita melewatkan kesempatan merasakan sejuknya pagi untuk meniti tangga indahnya hari

Subuh tadi pak jejen ceramah/berpidato dengan tema “ibadah”. Kita manusia sebagai makhluk diciptakan untuk menghamba, mengabdi dan beribadah kepada sang khaliq “Innama kholaktu al jinna wa al insa illa liya’budun”
Pertanyaan selanjutnya kenapa kita mesti beribadah? Apakah tuhan/Allah butuh akan ibadah kita? Apakah besar kecilnya ibadah kita mempengaruhi kebesaran-Nya? Jawabannya tetntu tidak, karna ibadah yang kita lakukan jelas-jelas buat kita walaupun seluruh makhluk di jagat raya ini tidak mentaatiNya hal tersebut tidak akan mempengaruhi kebesaran-Nya. Sebagaimana firman Allah man ‘amila sholihan falinafsihi wa man asaa fa ‘alaiha wama robbuka bi dhollamin lil a’bid

Ibadah banyak sekali macamnya tidak hanya sholat puasa zakat dll berbaik sangka terhadap-Nya pun termasuk ibadah sehingga tidaklah pantas bagi seorang muslim berputus asa karna hidup ini tidak sesempit seperti apa yang kita fikirkan, hidup ini indah maka nikmatilah hidup ini...
Apa yang membuat hidup kita indah? Apa yang menyebabkan kita harus menjalaninya dengan nikmat? Dan apa pula yang menyebabkan kita harus bertahan dalam hidup ini? Salahsatu jawabannya adalah harapan dan cita-cita. Selagi kita punya harapan selama kita punya cita-cita sebesar apapun hambatan dan rintangan yang nenghadang pasti bisa kita terjang

Kita bagaikan perahu yang terbuat dari kayu terbaik dan memiliki layar yang siap menghantam angin dan badai. Tapi apa gunanya perahu yang sangat hebat kalau hanya diam di dermaga, perahu yang hebat harusnya berlayar menentang badai melewati samudra menuju laut harapan dan pantai cita-cita

Disisi lain hidup adalah pilihan, ada kisah menarik yang bisa menginspirasi kita dalam masalah ini. Terkisah ada 2 buah tanaman yaitu tanaman A dan tanaman B. Tanaman A berkata pada tanaman B, aku ingin tumbuh tinggi hingga tunasku menggapai mentari dan akupun ingin tumbuh kuat hingga akar-akarku menancap kokoh sampai ke permukaan tanah.

Sedangkan tanaman B berkata, aku ingin sekali seperti kamu tapi aku takut jika tunasku menjulang ke atas nanti ada yang merusaknya dan aku juga takut jika akarku menancap ke bawah aku tidak tahu ada apa di kegelapan sana. Walaupun pada akhir kisahnya kedua tanaman tersebut dimakan sama hewan tapi kita bisa menilai tanaman mana yang paling baik. Tanaman A lah yang paling baik karena punya jiwa optimisme sehingga bisa merasakan indahnya hidup
So......Just try to be better coba, coba dan cobalah paling tidak kita harus bisa menjadi lebih baik dari sekarang

nikah sirri


“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” (UU Pernikahan Pasal 1)

Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama.

Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi. Meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain. Berbagai permasalahan pun akhirnya timbul.

Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (bagi yang muslim) atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi yang nonmuslim) untuk dicatat.

Contohnya kita bisa menyaksikan tayangan infotainment di salah satu stasiun tv swasta nasional. Ketika itu, selebriti yang disoroti adalah Machicha Mochtar yang mengharap pengakuan Moerdiyono (Mensegneg di era Orde Baru) sebagai bapak dari putranya. Anak dari hasil pernikahan siri mereka yang kini telah berusia 12 tahun. Kemudian masih dalam program yang infotainment juga, dikabarkan tentang Bambang Triatmojo (putra alm. Pak Harto) yang tak mau mencantumkan namanya sebagai ayah di atas akte kelahiran putri Mayangsari. Lagi-lagi kerena mereka ‘hanya' nikah siri.

Melihat makin maraknya fenomena nikah siri, pemerintah berkeinginan untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.

Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 2009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan?

II. ISI

Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.

Hukum Pernikahan Tanpa Wali

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

لا نكاح إلا بولي

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Kedua, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.

Ketiga, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Namun Banyak sekali kerugian yang tengah siap menerkam wanita dan anak yang terlibat dalam ikatan nikah siri ini. Berikut ini adalah beberapa kerugian yang harus ditanggung oleh seorang isteri dan anak dari hasil nikah siri:

  • Pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum, sehingga anda tidak dianggap sebagai isteri yang sah.
  • Isteri dan anak dari hasil nikah siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia.
  • Isteri dari hasil nikah siri tidak memiliki hak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum pernikahan siri mereka dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi.
  • Kerugian dalam aspek sosial yang harus ditanggung oleh seorang wanita yang terikat hubungan nikah siri adalah sulitnya bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Biasanya, wanita yang tinggal serumah dengan suami yang merupakan hasil dari nikah siri akan dianggap kumpul kebo, atau kadang juga dianggap sebagai isteri simpanan. Wanita tersebut akan menjadi buah bibir di lingkungan tempat tinggalnya.
  • Kerugian yang harus ditanggung oleh anak dari hasil nikah siri adalah, akan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Dan pada akhirnya, anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Secara hukum, anak tersebut tidak memiliki hubungan dengan sang ayah. Hal ini sesuai dengan UU Pernikahan pasal 42 dan pasal 43 ayat 1 berikut:

Pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Pasal 43 ayat (1): “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Akte kelahiran si anak pun hanya akan dicantumkan nama ibunya saja, sedangkan nama sang ayah tidak ada. Selain itu, status anak pun akan tertulis sebagai anak di luar nikah. Hal ini juga banyak sekali mengakibatkan melekatnya cap negatif masyarakat terhadap anak tersebut, yaitu sebagai anak haram. Status sosial anak tersebut tentu saja akan membuat sang anak menderita dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan mungkin sepanjang hidupnya.

  • Status si anak yang tidak jelas di mata hukum, tentu saja akan menimbulkan lemahnya hubungan antara si anak dengan sang ayah. Dan seandainya, suatu saat sang ayah tidak mengakui bahwa anak tersebut bukanlah anak kandungnya, maka sang anak tidak akan memiliki kekuatan apa-apa yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembelaan atau melakukan gugatan.
  • Dan yang paling merugikan si anak adalah, bahwa anak tersebut tidak memiliki hak atas nafkah, biaya pendidikan, biaya kehidupan, dan warisan dari sang ayah.


Itulah beberapa kerugian yang siap menerkam para wanita dan anak-anak yang terjebak dalam ikatan nikah siri. Begitu banyak dan begitu besar kerugian yang harus mereka terima, sementara dari pihak suami tidak akan mengalami kerugian apapun. Ya… dalam perkara nikah siri ini, sang suami hampir tidak akan mengalami kerugian dalam hal apapun. Bahkan sebaliknya, banyak sekali keuntungan yang siap diunduhnya.

Nikah siri yang dianggap tidak sah dimata hukum, akan memberikan kebebasan kepada sang suami untuk menikah lagi. Sang isteri tidak memiliki hak untuk menolak pernikahan tersebut, karena pernikahan yang telah mereka lakukan adalah pernikahan yang di mata hukum dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi. Selain itu, sang suami juga dapat lepas tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak dari hasil nikah sirinya. Dan yang jelas, sang suami tidak akan repot dengan masalah pembagian harta gono-gini, harta warisan, dan lain-lain. Sang isteri dan anak tidak akan memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan pernikahan dan status mereka.

Begitu banyak dan besarnya kerugian yang harus siap diterima oleh para wanita dan anak yang tidak berdosa atas terjadinya ritual nikah siri. Kesewenangan dari pihak suami atau ayah dapat dengan mudah terjadi di luar pantauan hukum. Itulah, mengapa UU Pernikahan pasal 2 ayat 2 merupakan salah satu aturan pernikahan yang sangat vital, yang harus dilaksanakan oleh setiap pasangan yang hendak menikah. Dan itulah, mengapa akhirnya pemerintah atau negara tidak mengakui adanya nikah siri.
Berpangkal dari banyaknya permasalahan yang muncul akibat pernikahan siri, ada orang yang berusaha menemukan solusi agar pernikahan siri juga bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum Negara. Artinya, meskipun tidak tercatat secara legal di Kantor Urusan Agama (KUA), namun mereka tetap bisa mendapatkan payung hukum ketika menghadapi permasalahan pelik, semisal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau pun perceraian. Tidak hanya perlindungan bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki, sehingga tidak menguntungkan sepihak.

Solusinya adalah dengan membuat semacam surat pernyataan bermaterai bahwa mereka memang telah melakukan pernikahan siri. Formatnya bisa dibuat sedemikian rupa, yang terpenting harus ada tanda tangan dari kedua mempelai, penghulu dan juga saksi-saksinya. Cara ini sebagai langkah antisipasi untuk melindungi hak-hak mereka, sekaligus sebagai pengangganti akte nikah. Dengan begitu, jika suatu saat terjadi masalah tidak perlu risau lagi, karena ada bukti yang bisa dijadikan sebagai ‘payung' perlindungan bagi mereka. Saya jalan ini cukup baik untuk menguatkan status hukum pernikahan siri.

DAFTAR PUSTAKA

Kaltim Post 23/04/07

Syamsudin ramadhan al nawi, HTI Press

http://www.syahadat.com/keluarga-islami/pernikahan/630-nikah-siri

http://advokatku.blogspot.com/2008/05/hak-anak-istri-dalam-pernikahan-siri.html

http://sarasabel.wordpress.com/2007/07/17/fenomena-maraknya-pernikahan-siri/

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=6886