RSS
Write some words about you and your blog here

PENDEKATAN MODERN DALAM KAJIAN TAFSIR AL QUR’AN

PENDEKATAN MODERN DALAM KAJIAN TAFSIR AL QUR’AN
0leh: Irfan Sholeh

Tulisan ini hanya ingin merekam perkuliahan “Pendekatan Modern dalam Kajian al-Qur’an” karna dalam pepatah jerman dikatakan wer liest,weib, wer schreibt, bleibt yang artinya siapa yang membaca akan mengetahui dan siapa yang menulis tidak akan pernah mati. Gadamer pun berkata bahwa tulisan adalah entitas yang hidup, membaca tulisan sama dengan berdialog

Pada pertemuan pertama ini tidak banyak membahas teori tapi hanya perkenalan dengan mata kuliahnya, apa saja silabus yang akan dibahas dipertemuan-pertemuan selanjutnya dan sedikit membahas tentang pendekatan modern dalam kajian al-Qur’an.Pada semester sebelumnya kita sudah membahas pendekatan-pendekatan tafsir klasik seperti metode tahlili, ijmali, muqaran, maudhu’i dan lain-lain. Kita juga sudah membahas pembagian tafsir bil riwayah/bil ma’tsur, bid dirawah/bir ra’yi dan tafsir isyari

Pendekatan modern dalam kajian al-Qur’an ini muncul, salah satu faktornya adalah, karena adanya pemahaman yang berbeda mengenai al-Qur’an sholihun li kulli zaman wa makan selaras dengan setiap zaman dan tempat. Para ulama kita (dalam bahasa Pak yusuf Rahman para ulama klasik/dahulu) memahami kata-kata/ istilah tadi dengan keuniversalitasan al-Qur’an. Al qur’an itu relevan bagi setiap zaman dan tempat, melampaui batas ruang dan waktu.Sedangkan dalam pandangan muslim kontemporer perlu ada reinterpretasi agar relevan dengan tuntutan/semangat zaman dan selaras dengan tantangan modernitas sehingga shalihun li kulli zaman wa makan itu akan terus berproses dan berinteraksi dengan kekinian

Istilah para ulama dahulu/klasik yang selalu disandarkan dengan ulama tekstualis dengan ulama kontemporer yang di identikan dengan ulama kontekstualis sebenarnya kurang pas karena dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ada yang menggunakan salah satunya (cenderung tekstualis atau kontekstualis) dan ada juga yang mencampuradukan keduanya

Perbedaan tekstualis dengan kontekstualis adalah kalau tekstualis menghukumi kekinian itu dengan mengembalikan sepenuhnya kepada teks al-Qur’an dan pendekatannya lebih menekankan pada sisi kebahasaannya atau linguistiknya saja sedangkan kontekstualis beranggapan kalau penekanannya pada sisi bahasa saja akan terjadi pembacaan yang berulang-ulang (al-Qiraah al-Mukarrarah) sehingga bagi para kontekstualis hal tersebut akan berimplikasi pada penafsiran yang zumud dan tidak cocok dengan apa yang dibutuhkan masyarakat sekarang, maka timbullah pembacaan kritis (al-Qiraah al-Muntijah) dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an

Adanya dikhotomi antara teks dan konteks atau tekstualis dan kontekstualis ini menggelitik saya untuk bertanya pada Pak Yusuf Rahman, “Pak apakah ada garis demarkasi yang jelas antara tekstualis dengan kontekstualis?” kita tahu bahwa tidak ada yang murni tekstualis atau murni kontekstualis karena yang tekstualis tentu mempunyai preasumsi-preasumsi dan pergumulan dialam bawah sadarnya dan sangat dimungkinkan preasumsi tersebut berhubungan dengan konteks saat ia menafsirkan, begitupun yang kontekstualis ia pasti tidak akan lepas dari teks karna menggunakan teks dan penafsiran teks sebagai pijakan awalnya atau fondasinya

Jawaban Pak Yusuf Rahman adalah “ meskipun kita sulit melakukan klasifikasi atau garis demarkasi yang jelas tapi dalam tataran akademik itu harus dilakukan karena kekaburan klasifikasi tadi bisa kita perjelas dengan kriteria-kriteria dan batasan-batasan tertentu”. Kemudian saya bertanya lagi pada Pak Yusuf Rahman, “apakah ada perbedaan antara yang tsawabit dan mutagayyirat dalam kajian tafsir versi modern ini? Ataukah semuanya dianggap al mutagayyirat sehingga semuanya bisa dikontekstualisasikan?” jawabannya singkat juga yaitu setiap penafsir mempunyai batasan tsawabit dan mutagayyirat yang berbeda-beda sehingga tergantung menurut siapa dulu?...dan beliau merekomendasikan saya untuk membaca buku syahrur tentang chance and permanent
Akhirnya inti dari mata kuliah pendekatan modern dalam kajian al-Qur’an ini adalah kita akan menelusuri pemikiran-pemikiran mufassir modern dan kontemporer dengan item-item sebagai berikut:
- Apa pendekatan yang dia pakai
- Kenapa memakai pendekatan tersebut
- Bagaimana aplikasinya
- Apa bedanya dengan yang lain
- Apa latarbelakangnya/motivasinya
- Dan bagaimana respon para pembacanya

Dan inilah hasil dari tatap muka pertama pada mata kuliah pendekatan modern dalam kajian al Qur’an semoga bermanfaat......

KONTROVERSI SEPUTAR SHALAWAT NABI

KONTROVERSI SEPUTAR SHALAWAT NABI
Oleh: Irfan Soleh

Hari senin adalah hari yang sangat tidak diinginkan oleh warga kota jakarta khususnya para pekerja karena dihari ini aktifitas kembali datang, segudang tugas yang sudah menjadi rutinitas harus dilalui lagi. Sehingga sangat wajar kalau ada karyawan/ti yang mengatakan hari senin adalah hari yang sangat tidak didinginkan bahkan saking keselnya sampai-sampai ada yang bilang tiada hari yang paling saya benci kecuali hari senin

Ungkapan ketidaksukaan terhadap hari senin antara yang pertama dengan yang kedua itu berbeda, dan dari perbedaan tersebut tentu mengandung makna yang berbeda. Apa perbedaannya? Makna apa yang bisa kita dapat dari dua ungkapan tersebut? Jawabannya akan selaras dengan pembahasan kita kali ini yaitu mengenai shalawat kepada Nabi yang berkaitan dengan hadis dalam shahih bukhari dengan judul باب الصلاة على النبى saya kutipkan bunyi hadisnya

حدثنا ادم حدثنا شعبة حدثنا الحكم قال سمعت عبد الرحمان بن ابى ليلى قال: لقينى كعب بن عجرة فقال: الا اهد لك هدية؟ ان النبى صلى الله عليه وسلم خرج علينا فقلنا يارسول الله قد علمنا كيف نسلم عليك, فكيف نصلى عليك؟ قال فقولوا: اللهم صلى على محمد و على ال محمد كما صليت على ابراهيم انك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد و على ال محمد كما باركت على ال ابراهيم انك حديد مجيد

Pembahasan ini menjadi penting karena ada konflik yang tak berkesudahan atau konflik yang berkepanjangan di masyarakat mengenai masalah pembacaan sayyidina( سيدنا ) ketika membaca shalawat kepada nabi. Berdasarkan hadis diatas ka’ab ibn ujrah bertanya kepada Rasulullah,”bagaimana cara bershalawat kepada engkau ya Nabiyallah?”, Rasul menjawab: قال فقولوا اللهم صلى على محمد dalam hadis ini Rasul menjawab langsung kata Muhammadin tanpa kata sayyidina . dengan hadis inilah kelompok yang “anti sayyidina” menyalahkan golongan “pengikut sayyidina”

Lantas pertanyaan selanjutnya adalah apakah shalawat-shalawat yang lain seperti shalawat munjiyah, shalawat nariyah dan lain-lain dilarang dengan hadis tersebut karena lafal teksnya berbeda dengan apa yang disebutkan Rasul dalam hadis tersebut. Jawabannya adalah boleh menurut Pak Kiai (Prof Ali Mustafa Ya’kub) dengan penjelasan sebagai berikut:

Dalam hadis tersebut Rasulullah hanya menyebutkan contoh/ salahsatu contoh bagaimana cara bershalawat kepada beliau karna dalam ilmu balaghah redaksi tersebut, jawaban Rasul atas pertanyaan Ka’ab ibn ujrah, tidak mengandung batasan bahwa redaksi shalawat yang dibenarkan hanya itu saja

Pak Kiai menganalogikan hal tersebut dengan ungkapan “edo adalah murid/santri pesantren Darus Sunnah” dari ungkapan tersebut apakah santri Darus Sunnah hanya edo saja? Tentu jawabannya tidak!, begitupun dengan pertanyaan kita diawal karyawan pertama mengatakan “saya tidak menyukai hari senin” dari statement tersebut ada kemungkinan hari-hari lainnya pun tidak suka lain halnya ketika ia ungkapkan dengan pernyataan”tidak ada hari yang paling saya tidak senangi ( benci) kecuali hari senin” dari ungkapan yang kedua ini ada batasan bahwa yang tidak disukai itu hanya hari senin

Satu analogi lagi yaitu ketika kita mengungkapkan isi hati kita sama sang kekasih انا احب اليك (saya mencintaimu) disini tidak ada حصر (batasan) apakah cintanya sama dia seorang karena dengan ungkapan ini masih ada kemungkinan ia mencintai orang lain. Lain kasusnya ketika ungkapannya ليس احب احد الا اياك (tidak ada yang saya sukai seorangpun kecuali kamu). Pernyataan yang kedua ini jelas tidak mungkin ada orang lain yang ia sukai

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat khususnya bagi orang yang masih mempersoalkan masalah pembacaan sayyidina dan shalawat-shalawat yang lain wallahu a’lam bi shawab...

POLIGAMI DALAM PERDEBATAN

POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Oleh: Irfan Soleh

Hari ini jam pertama mata kuliah tafsir ahkam berjalan seperti biasanya hanya yang berbeda mungkin jumlah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini kalau biasanya hanya TH VII B dan TH V C saja namun kali ini TH VII A pun turut nimbrung memenuhi tempat perkuliahan. Tema yang diangkat pemakalah adalah nikah/perkawinan daan mahar. Mereka membahas ayat-ayat seperti an-Nisa:3:25:127:24:22 an-Nur:32:30:31 al-Ahzab:49 dan al-Baqarah:236

Namun seperti biasanya wacana yang hangat dan tak kunjung usai adalah masalah poligami, tidak banyak pembahasan mengenai seperti apa perkawinan dan mahar itu karena dosen langsung membuka ruang dialog/ruang perdebatan dalam masalah poligami. Pertama-tama dari pemakalah memberikan argumen kebolehan poligami dengan melihat jumlah wanita lebih banyak dari pada jumlah pria sehingga dengan adanya poligami ini sebenarnya menguntungkan perempuan

Walaupun sebenarnya menurut saya argumen tadi lemah dan sangat mudah dipatahkan misalnya dengan fakta di indonesia perbandingan jumlah pria dan wanita masih bisa dibilang seimbang, tapi tidak bisa disalahkan kalau memang ada faktanya seperti itu. Kemudian pendapat lain menambah/menanggapi pembicara sebelumnya, menurutnya islam datang merespon budaya yang sudah ada ketika itu karena, seperti biasa, islam tidak datang di ruang hampa, konsekwensinya kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana budaya arab ketika itu

Kita tahu dari sejarah zaman zahiliyah bahwa kebiasaan orang arab khususnya dalam perlakuan terhadap perempuan sangat buruk, mereka terbiasa menikah seenaknya berapapun jumlahnya tidak dibatasi, saling tukar istri dan masih banyak lagi bentuk perlakuan yang merendahkan dan mendiskriminasikan perempuan. Sehingga islam datang dengan hukum poligaminya adalah sebagai bentuk negosiasi dengan kultur arab tersebut karena tidak mungkin islam menghapus sekaligus atau menolak mentah-mentah apa-apa yang sudah menjadi tradisi dan sudah mendarah daging di masyarakat arab ketika itu

Kemudian ia mengutip Muhammad Abduh yang meskipun tafsirnya almanar menggunakan metode tahlili tapi beliau tetap mengharamkan poligami karena menurutnya tafsir tahlili membuka peluang diskriminasi terhadap perempuan dengan hanya memahami satu ayat itu saja tanpa melihat ada ayat lain yang mengatakanbahwa kita tidak bisa berbuat adil sehingga, ia mengutip pendapat Nasaruddin Umar, selayaknya dalam hal ini kita menggunakan tafsir tematis karena kita tidak akan terjebak pada kesalahan yang hanya melihat sebagian ayat dan mengabaikan ayat lain
Dengan logat jawanya ia terus memaparkan argumentasinya dan kali ini dia mencoba mamaparkan statement amina wadud. Disini dia mengomentari atau menyanggah oarang yang menganggap kebolehan poligami dengan alasan ekonomi, misalnya seeorang pengusaha kaya mengawini empat orang janda/ wanita miskin dan dalam hal ini dilakukan dalam rangka perbaikan ekonomi perempuan tadi. Amina wadud mengatakan itu terjadi pada masa dahulu karena pada zaman sekarang sudah banyak wanita karir dan kebanyakan sudah mapan sehingga argumen ekonomi untuk mematahkan poligami bisa dipatahkan, kenapa tidak dikasih sodaqah dan infaq saja kalau memang niatnya menolong, katanya melanjutkan argumennya yang tadi

Kemudian yang kedua yang sering dijadikan alasan misalnya mandul, masih mengutip amina wadud, ia mengatakan bahwa kenapa harus wanita yang ditolong padahal masih banyak anak-anak kecil yang terlantar dan hidupnya lebih mengenaskan daripada wanita-wanita tadi dan inilah mungkin argumen dia yang terakhir setelah itu dosen memberikan komentar terhadap statemen-statemen yang dihidangkan oleh para mahasiswanya

Meskipun penjelasan dosen ini tidak bisa menjawab mereka yang menolak poligami namun saya tetap akan menguraikan pendapat-pendapat beliau disini meskipun tidak semuanya saya paparkan. Pak Dosen bilang bahwa poligami sudah ada sebelum islam datang, dalam agama yahudi misalnya mereka tidak membatasi jumlah perempuan yang bisa dinikahi jadi sangat longgar sekali sebaliknya dalam agama kristen mereka sangat mengekang/membatasi pemeluknya untuk menikah makanya, menurut Pak Dosen, islam datang menengahi dua pandangan ekstrim tadi (meskipun ini perlu penelitian lebih lanjut menurut saya) yaitu islam sebagai penengah tidak terlalu longgar membolehkan dan tidak terlalu ketat melarang

Yang terpenting, menurut Pak Dosen, adalah konsep ‘adilnya. Ungkapan al-Qur’an yang berbunyi ولن تعدلوا ولو حرصتم adalah dari aspek batiniahnya karena mau bagaimanapun juga susah untuk berlaku adil dalam hal hati nurani bahkan Rasul sendiri pun secara terang-terangan mengatakan bahwa beliau tidak bisa adil secara batin tetap saja ada salah-satu istrinya yang beliau unggulkan dan lebih beliau sukai. Namun serentak para penolak poligami tadi mengatakan / melontarkan pertanyaan yaitu atas dasar apa ada dikhotomi makna ayat al-Qur’an tadi bahwa ayat ini secara batin dan ayat yang lain dilihat dari segi materialnya, atas dasar apa?

Dosen menjawab ya dari asbab nuzulnya dan perkataan para ulama namun tidak lama kemudian ada mahasiswa lain yang membela dosen dan mengatakan bahwa apabila ada ayat lain yang bertentangan, yang satu mengatakan bisa adil dan yang satunya lagi mengatakan tidak bisa adil maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan di jama’ atau nasikh mansukh

Menurut saya terlepas dari perdebatan itu semua kita tidak bisa serampangan menolak atau menerima poligami tapi kita harus cari dulu konsep adil itu seperti apa lalu kita teliti lebih lanjut baru kita buat kesimpulan yang bisa jadi tergantung konteks orang yang akan berpoligami karena tiap orang pasti punya kasus dan alasan masing-masing

Yang harus kita ‘clear’ kan terlebih dahulu adalah bagaimana tatacara atau metodologi menggali hukum dari al-Qur’an كيف نستنبط الاحكام الشرعية من النص setelah itu beres baru kita simpulkan sebuah hukum. Adapun kalau nanti ada fakta-fakta yang lain yang bertentangan dengan hukum ini ya kita selesaikan secara hukum juga artinya sesuai dengan metodologinya. Sekarang taro lah kita setuju dengan para ulama bahwa hukumnya adalah mubah /boleh maka kalau ada relitas-realitas yang menolaknya kita harus lihat dulu bisa tidak ia dipakai sebagai dalil yang menggoyahkan hukum asalnya tadi yaitu al ibahah

HUKUM HOMOSEKSUAL

HUKUM HOMOSEKSUAL
Oleh: Irfan Soleh

Kebebasan adalah kata yang di idamkan oleh kebanyakan orang yang merasa modern, tanpa kebebasan kita seolah masih hidup di zaman kuno dan sekarang zaman pengekangan sudah usai. Kita bisa melihat disemua lini baik ekonomi, politik, budaya bahkan agama semuanya lantang menyuarakan kebebasan walaupun sebenarnya kalau kita sadar tidak ada kebebasan yang mutlak, yang benar-benar bebas, karna pasti ada titik dimana kebebasannya dibatasi

Memang orang yang menyuarakan kebebasan tidak semuanya salah tapi kebanyakan yang ada malah kebablasan apalagi dalam bidang agama. Agama yang sejatinya mengikat dan mengatur kehidupan kita, malah kita yang membuatnya menjadi tidak teratur dan ingin menjadikan aturan tersebut jadi kabur

Saya hanya ingin memberikan contoh kebebasan yang kebablasan dimana agama melarang keras perbuatan ini yaitu hubungan sesama jenis karena akhir-akhir ini marak sekali hubungan semacam ini, alasannya mungkin simple yaitu atas nama kebebasan yang dibungkus Hak Azasi Manusia dan dengan hal ini para pelakunya seolah mendapat justifikasi yuridis
Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadis:

باب فيمن عمل عمل قوم لوط
عن بن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من وجدتموه يعمل عمل قوم لوطو فاقتلوا الفاعل و المفعول به

Dalam hadis ini jelas-jelas hukuman bagi orang yang melakukanhubungan sesama jenis seperti yang dilakukan oleh kaum luth adalah dibunuh. Meskipun Pak Kiai sering bilang bahwa dalam melihat suatu hukum dari hadis tidak cukup hanya melihat satu hadis saja tapi harus mengumpulkan hadis-hadis yang senafas yang pembahasannya sama kemudian disimpulkan

Melalui hadis ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa agama kita, islam, melarang keras melakukan hubungan sesama jenis. Dan terkait dengan naluri kita yang ingin punya keturunan atau ingin merasakan kasih sayang islam telah mengajarkan jalurnya/pemecahannya dengan melakukan Nikah terhadap lawan jenis

Indah sekali sebenarnya kalau kita melihat dan menghayati hukum yang ada pada agama islam semuanya ada hikmah yang sangat besar walaupun kita jarang sadar akan hal tersebut. Tulisan yang sangat ringkas ini mudah-mudahan jadi pelajaran dan perenungan bagi kita semua, amien....

TARJUMAN AL MUSTAFID

TARJUMAN AL MUSTAFID
oleh: Irfan Soleh

Tarjuman al mustafid adalah tafsir yang dikarang oleh Abdul Rauf As-Singkili atau Abdul Rauf Singkel. Perbedaan As-Singkili dengan Singkel hanya perbedaan dialek saja. Tapi ada juga julukan lainnya yaitu Abdul Rauf al-Fansuri nama ini ada karena daerah singkil itu lebih populer dari pada fansuri padahal kedua tempat tersebut berdampingan

Ada perbedaan pendapat dari peneliti kitab tafsir ini mengenai kelahiran beliau diantaranya
a. Rinkes, orang belanda, menurutnya as-Singkili lahir pada tahun 1615, beliau menghitung berdasarkan kebiasaan orang melayu pergi ke jazirah arab
b. Voorhoeve, menurutnya As-Singkili lahir pada tahun 1620 M dan ditulis didalam ensiklopedi of islam
c. Shagir Abd, menurutnya As-Singkili lahir pada tahun 1592 M, namun beliau tidak menjelaskan tahun ini didapat dari mana


Sekarang kita akan melihat latar belakang pendidikan Abdul Rauf as-Singkili. Awalnya beliau belajar sama ayahnya kemudian beliau berguru ke beberapa ulama di daerah Fansur, aceh. Dan pada tahun 1642 beliau merantau ke tanah arab dan belajar selama 19 tahun dari 27 ulama yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu islam

Kapan tarjuman al mustafid ini dibuat? Tafsir ini selesai dirampungkan dalam bentuk manuskrip pada tahun 1675 dan dicetak yang kemudian di tashih pada tahun 1884. Ada dua orang yang mempunyai pengaruh besar dalam merekonstruksi kitab Tarjuman al Mustafid ini yaitu Anthony Jhons dan Peter Riddel yang menulis disertasi tentang tafsir Tarjuman al Mustafid pada tahun 1984
Diantara mereka berdua ada perselisihan pendapat mengenai apakah tafsir Tarjuman ini adaptasi dari tafsir Jalalain atau dari tafsir Baidhowi. Menurut Anthony Jhons dari tafsir Jalalain sedangkan Peter Riddel dari Baidhawi. Disamping mereka berdua ada lagi peneliti dari indonesia yaitu Salman Harun yang menulis disertasi pada tahun 1987 dan beliau memperkuat pendapatnya Peter Riddel

Berbeda dengan para peneliti tadi yang mempunyai pengaruh di dalam merekonstruksi tafsir Tarjuman, Babad Daud Rumi mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan kitab tafsir ini karena beliau murid langsung dari Abdul Rauf as-Singkili. Babad Daud Rumi menambahkan tentang Qira’ah dan Qishah dalam tafsir tersebut dimana dalam Qishah tersebut terdapat kisah-kisah israiliyyat yang diambil dari kitab al-Khazin

Alasan memasukan kisah israiliyyat tadi besar kemungkinan karena budaya masyarakat asia tenggara/nusantara pada umumnya tidak membedakan antara mitos dan cerita fakta. Dan cerita/kisah-kisah merupakan media dakwah yang disukai masyarakat kita

Kemudian ada satu kasus walaupun ini bisa jadi hanya spekulasi dari dosen saya bahwa Abdurrahman as-Singkili menafsirkan ayat الرجال قوامون على النساء bukan dengan “lelaki” tetapi dengan “keperkasaan”. Hal ini karena as-Singkili ingin menengahi perdebatan antara Nuruddin Arraniri dengan Syamsudin as-Sumatrani, muridnya Hamzah Fansuri, dan as-Singkili bersikap moderat dalam hal ini untuk menengahi perselisihan tersebut karena berbuntut pada fatwa Arraniri yang menyuruh membakar kitab-kitab Hamzah Fansuri dan menghalalkan darah yang mengikuti ajarannya