RSS
Write some words about you and your blog here

POLIGAMI DALAM PERDEBATAN

POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Oleh: Irfan Soleh

Hari ini jam pertama mata kuliah tafsir ahkam berjalan seperti biasanya hanya yang berbeda mungkin jumlah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini kalau biasanya hanya TH VII B dan TH V C saja namun kali ini TH VII A pun turut nimbrung memenuhi tempat perkuliahan. Tema yang diangkat pemakalah adalah nikah/perkawinan daan mahar. Mereka membahas ayat-ayat seperti an-Nisa:3:25:127:24:22 an-Nur:32:30:31 al-Ahzab:49 dan al-Baqarah:236

Namun seperti biasanya wacana yang hangat dan tak kunjung usai adalah masalah poligami, tidak banyak pembahasan mengenai seperti apa perkawinan dan mahar itu karena dosen langsung membuka ruang dialog/ruang perdebatan dalam masalah poligami. Pertama-tama dari pemakalah memberikan argumen kebolehan poligami dengan melihat jumlah wanita lebih banyak dari pada jumlah pria sehingga dengan adanya poligami ini sebenarnya menguntungkan perempuan

Walaupun sebenarnya menurut saya argumen tadi lemah dan sangat mudah dipatahkan misalnya dengan fakta di indonesia perbandingan jumlah pria dan wanita masih bisa dibilang seimbang, tapi tidak bisa disalahkan kalau memang ada faktanya seperti itu. Kemudian pendapat lain menambah/menanggapi pembicara sebelumnya, menurutnya islam datang merespon budaya yang sudah ada ketika itu karena, seperti biasa, islam tidak datang di ruang hampa, konsekwensinya kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana budaya arab ketika itu

Kita tahu dari sejarah zaman zahiliyah bahwa kebiasaan orang arab khususnya dalam perlakuan terhadap perempuan sangat buruk, mereka terbiasa menikah seenaknya berapapun jumlahnya tidak dibatasi, saling tukar istri dan masih banyak lagi bentuk perlakuan yang merendahkan dan mendiskriminasikan perempuan. Sehingga islam datang dengan hukum poligaminya adalah sebagai bentuk negosiasi dengan kultur arab tersebut karena tidak mungkin islam menghapus sekaligus atau menolak mentah-mentah apa-apa yang sudah menjadi tradisi dan sudah mendarah daging di masyarakat arab ketika itu

Kemudian ia mengutip Muhammad Abduh yang meskipun tafsirnya almanar menggunakan metode tahlili tapi beliau tetap mengharamkan poligami karena menurutnya tafsir tahlili membuka peluang diskriminasi terhadap perempuan dengan hanya memahami satu ayat itu saja tanpa melihat ada ayat lain yang mengatakanbahwa kita tidak bisa berbuat adil sehingga, ia mengutip pendapat Nasaruddin Umar, selayaknya dalam hal ini kita menggunakan tafsir tematis karena kita tidak akan terjebak pada kesalahan yang hanya melihat sebagian ayat dan mengabaikan ayat lain
Dengan logat jawanya ia terus memaparkan argumentasinya dan kali ini dia mencoba mamaparkan statement amina wadud. Disini dia mengomentari atau menyanggah oarang yang menganggap kebolehan poligami dengan alasan ekonomi, misalnya seeorang pengusaha kaya mengawini empat orang janda/ wanita miskin dan dalam hal ini dilakukan dalam rangka perbaikan ekonomi perempuan tadi. Amina wadud mengatakan itu terjadi pada masa dahulu karena pada zaman sekarang sudah banyak wanita karir dan kebanyakan sudah mapan sehingga argumen ekonomi untuk mematahkan poligami bisa dipatahkan, kenapa tidak dikasih sodaqah dan infaq saja kalau memang niatnya menolong, katanya melanjutkan argumennya yang tadi

Kemudian yang kedua yang sering dijadikan alasan misalnya mandul, masih mengutip amina wadud, ia mengatakan bahwa kenapa harus wanita yang ditolong padahal masih banyak anak-anak kecil yang terlantar dan hidupnya lebih mengenaskan daripada wanita-wanita tadi dan inilah mungkin argumen dia yang terakhir setelah itu dosen memberikan komentar terhadap statemen-statemen yang dihidangkan oleh para mahasiswanya

Meskipun penjelasan dosen ini tidak bisa menjawab mereka yang menolak poligami namun saya tetap akan menguraikan pendapat-pendapat beliau disini meskipun tidak semuanya saya paparkan. Pak Dosen bilang bahwa poligami sudah ada sebelum islam datang, dalam agama yahudi misalnya mereka tidak membatasi jumlah perempuan yang bisa dinikahi jadi sangat longgar sekali sebaliknya dalam agama kristen mereka sangat mengekang/membatasi pemeluknya untuk menikah makanya, menurut Pak Dosen, islam datang menengahi dua pandangan ekstrim tadi (meskipun ini perlu penelitian lebih lanjut menurut saya) yaitu islam sebagai penengah tidak terlalu longgar membolehkan dan tidak terlalu ketat melarang

Yang terpenting, menurut Pak Dosen, adalah konsep ‘adilnya. Ungkapan al-Qur’an yang berbunyi ولن تعدلوا ولو حرصتم adalah dari aspek batiniahnya karena mau bagaimanapun juga susah untuk berlaku adil dalam hal hati nurani bahkan Rasul sendiri pun secara terang-terangan mengatakan bahwa beliau tidak bisa adil secara batin tetap saja ada salah-satu istrinya yang beliau unggulkan dan lebih beliau sukai. Namun serentak para penolak poligami tadi mengatakan / melontarkan pertanyaan yaitu atas dasar apa ada dikhotomi makna ayat al-Qur’an tadi bahwa ayat ini secara batin dan ayat yang lain dilihat dari segi materialnya, atas dasar apa?

Dosen menjawab ya dari asbab nuzulnya dan perkataan para ulama namun tidak lama kemudian ada mahasiswa lain yang membela dosen dan mengatakan bahwa apabila ada ayat lain yang bertentangan, yang satu mengatakan bisa adil dan yang satunya lagi mengatakan tidak bisa adil maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan di jama’ atau nasikh mansukh

Menurut saya terlepas dari perdebatan itu semua kita tidak bisa serampangan menolak atau menerima poligami tapi kita harus cari dulu konsep adil itu seperti apa lalu kita teliti lebih lanjut baru kita buat kesimpulan yang bisa jadi tergantung konteks orang yang akan berpoligami karena tiap orang pasti punya kasus dan alasan masing-masing

Yang harus kita ‘clear’ kan terlebih dahulu adalah bagaimana tatacara atau metodologi menggali hukum dari al-Qur’an كيف نستنبط الاحكام الشرعية من النص setelah itu beres baru kita simpulkan sebuah hukum. Adapun kalau nanti ada fakta-fakta yang lain yang bertentangan dengan hukum ini ya kita selesaikan secara hukum juga artinya sesuai dengan metodologinya. Sekarang taro lah kita setuju dengan para ulama bahwa hukumnya adalah mubah /boleh maka kalau ada relitas-realitas yang menolaknya kita harus lihat dulu bisa tidak ia dipakai sebagai dalil yang menggoyahkan hukum asalnya tadi yaitu al ibahah

0 komentar:

Posting Komentar