RSS
Write some words about you and your blog here

PERSFEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MAHAR

PERSFEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MAHAR
Oleh: Irfan Soleh

Berawal dari sms yang datang tiba-tiba dan berbunyi nyaring ,” Aa kapan-kapan kita musti wajib berdiskusi... pokokna abi (saya) minta waktu aa kapan-kapan untuk diskusi tentang mahar, oke?” . “waduh tambah lagi nih PR “, pikir saya. But jujur aja saya sangat senang menerima pertanyaan-pertanyaan semacam ini karena memacu saya untuk giat membaca dan menela’ah pembahasan yang terkait dengan pertanyaan tadi.

Alhamdulillah ada aja jalan untuk menjawab pertanyaan tadi. Secara tidak sengaja saya teringat sebuah jurnal, jurnal studi ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadis, yang saya beli di Yogyakarta. Akhirnya saya cari-cari dan alhamdulillah ketemu juga. Mata saya langsung tertuju pada sebuah Artikel yang ditulis oleh Afdawaiza dengan judul Konsep Shaduq sebagai mahar dalam al-Qur’an (membaca ulang QS al-Nisa: 4). Jadi jawaban pertanyaan tadi saya ringkas dari artikel ini.

Menurut Afdawaiza, mengutip W Robertson Smith dalam bukunya Kinship and Marriage in Early Arabia, pemberian mahar pada masa dulunya sangat berkaitan dengan kondisi perempuan yang tidak memiliki hak dan kebebasan, sehingga pemberian mahar pun dengan sendirinya diperuntukan bagi wali si perempuan, sebagai konpensasi karena ia sudah membesarkannya dan resiko akan kehilangan peran yang dimainkan si anak nantinya di rumah bapaknya. Dan hal inilah yang menyebabkan pada masa arab pra-islam mahar ditafsirkan sebagai harga beli seorang perempuan dari walinya

Namun masih menurut Afwaiza kebanyakan fuqaha tidak dan belum bisa juga melepaskan pendapatnya dari tradisi tersebut. Terbukti dalam pembahasan kitab fiqih mahar masih diartikan secara sempit dan kewajiban memberikannya selalu dan hanya dihubungkan dengan alasan biologis. Misalnya sebagian ulama mazhab hanafi mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau terjadinya hubungan suami istri. Ulama mazhab maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal digauli. Ulama mazhab Syafi’i mengartikannya sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Dari sinilah nantinya muncul istilah akad nikah sebagai akad kepemilikan atau ganti kepemilikan (aqd at-tamlik) dan akad pengganti (‘aqd al-muwada’ah)

Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan istilah mahar secara explisit sebagai suatu kewajiban yang harus dibayarkan oleh pria yang hendak menikah. Hanya saja ada beberapa isyarat ayat al-Qur’an yang menunjukan ke arah pengertian mahar tersebut dengan menggunakan kata-kata Shaduqat dan Nihlah. Penggunaan dua kata tersebut terdapat dalam QS al-Nisa: 4 yang artinya berbunyi,”dan berikanlah mahar pada wanita –yang kamu nikahi- sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.

Kata Shaduqat merupakan jamak dari shidaq dan merupakan satu rumpun kata dengan shiddiq shadaq dan shadaqah. di dalamnya terkandung makna jujur, putih hati, bersih. Dengan demikian arti shaduqat dalam konteks ayat tersebut adalah harta yang diberikan dengan hati yang bersih dan suci kepada calon istri yang dinikahi sebagai amal shaleh.

Sedangkan makna kata Nihlah para ulama terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang diwakili Qatadah mengartikannya dengan sesuatu yang wajib. Nihlah secara bahasa artinya agama, ajaran, syari’at, dan mazhab. Jadi makna kata nihlah dalam ayat diatas adalah “dan berikanlah mahar kepada istri-istrimu, karena ia merupakan bagian dari ajaran agama”. Konsekwensi dari pemaknaan tersebut mahar wajib diberikan. Kelompok kedua diwakili oleh al-Kalabi mengartikannya dengan pemberian atau hibah. Ada yang berpendapat bahwa Nihlah berasal dari rumpun yang sama dengan Al-Nahl yang artinya lebah. Pemaknaan kata-kata ini masih ada hubungannya dengan kata Shaduqat diatas. Yakni laki-laki mencari harta yang halal seperti lebah mencari kembang yang kelak menjadi madu. Hasil jerih payah yang suci dan bersih tersebut itulah yang diserahkan kepada calon istrinya sebagai bukti ketulusan dan kejujurannya dan nyatanya yang diberikan memang sari yang bersih

Sehingga pembahasan al-Qur’an mengenai mahar ini bisa disimpulkan menjadi tiga point. Pertama, dalam al-Qur’an mahar diartikan dengan Shaduqat yang merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih seorang pria. Kedua, jika Shaduqat itu ditarik secara khusus menjadi mahar, maka mahar itu menjadi hak milik perempuan, bukan milik ayah atau ibunya atau siapapun yang secara tradisional dianggap berhak menjadi wali bagi seorang perempuan. Ketiga, kalaupun mahar diberikan kepada perempuan ia harus dipandang sebagai nihlah yaitu pemberian yang penuh sukarela sebagai hadiah yang tidak mengharapkan imbalan apapun



0 komentar:

Posting Komentar