RSS
Write some words about you and your blog here

AGAMA DAN RUANG PUBLIK

AGAMA DAN RUANG PUBLIK
Oleh: Irfan Soleh

Tulisan ini coretan saya ketika mengikuti sebuah seminar yang diadakan oleh RCII (Reseach Center for Islam and Indonesia) dengan tema “agama dan ruang publik politis: ketegangan dan negosiasi sosial-politik” yang bertempat di mushola raharja Paramadina pondok indah plaza 1 kav VA 20-21. Pembicaranya yaitu Prof DR M Dawam Raharjo dan DR Francisco Budi hardiman. Seminar ini berjalan lancar meskipun segmen terakhir ada sedikit gangguan karena sebagian peserta keluar ruangan untuk berbuka puasa tentunya dengan hidangan yang sudah disiapkan oleh panitia

Dawam raharjo, sebagai pembicara pertama, mengawali pembicaraannya dengan menganalogikan agama dan masyarakat/ agama dan ruang publik dengan ikan dan air dimana kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan , jadi tanpa ruang publik agama akan seperti ikan tanpa air dimana ikan itu hidup
Visi Nabi Ibrahim sebetulnya, lanjut Dawam, mendirikan masyarakat damai tanpa negara/tanpa kerajaan, namun implikasinya adalah timbulnya perang antar suku dan adanya pelanggaran terhadap nilai-nilai etika dan norma-norma yang ada. Sehingga ia mengatakan bahwa agama mau tidak mau membutuhkan negara apalagi islam yang mendapat contoh dari baginda kita Rasulullah SAW yang mendirikan negara Madinah dengan konstitusi perjanjian khudaibiyah, karena selain melahirkan hukum positif, negara juga menjamin berlakunya dan ditaatinya hukum demi menjaga kelestarian dan keutuhan masyarakat

Tidak hanya islam sebenarnya, tetapi agama agama-agama lain juga seperti yahudi, kristen, hindu dan budha , untuk memelihara eksistensi dan perkembangannya, mereka selalu mengakses dan bahkan membentuk sendiri kekuasaan negara. Namun masalahnya ketika agama-agama tadi telah didukung oleh kekuasaan atau negara , justru negara malah membatasi kebebasan beragama dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu atau melakukan diskriminasi dan pengingkaran hak-hak minoritas

Sehingga dalam pandangan Pak Dawam , harus ada persyaratan-persyaratan tertentu ketika agama ingin memasuki ruang publik yaitu dengan melakukan proses rasionalisasi dan objektivikasi norma-norma agama. Rasionalisasi dilakukan dengan mengembangkan filsafat keagamaan dan objektifikasi dilakukan dengan penalaran publik (public reasoning) yang didukung dengan penelitian empiris
Merasa belum cukup dengan 2 persyaratannya tadi, ia menambahkan tiga poin yang harus dilakukan ketika agama ingin mengakses ruang publik yaitu pertama pluralisme karna dengannya tidak saja melahirkan toleransi, tetapi juga interaksi terbuka dengan semangat ta’aruf (saling memahami dan menghargai).

Yang kedua adalah sekularisme untuk menghindari arogansi agama dan yang ketiga adalah liberal karena dengan keterbukaan dan kebebasan akan membuka pintu untuk bisa berfikir penalaran publik dan dalam rangka penalaran publik itu agama akan dibawa kedalam wacana publik
Kemudian pembicara yang kedua dalam seminar tersebut yaitu F.Budi Hardiman.Beliau mengetengahkan sejarah ruang publik. Kosa kata politis ruang publik lahir pasca perang dingin dalam kaitannya dengan penguatan civil society di Eropa Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet
F.Budi Hardiman mengartikan kata ruang dengan “proses-proses komunikasi sosial politik” dan kata publik dengan “kepentingan umum” sehingga kosa kata ini mengandaikan, secara normatifnya, warga negara dapat berkomunikasi bebas secara egaliter, non-diskriminatif, non-refresif, dan otonom membahas isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama walaupun secara de facto itu akan sangat sulit dilakukan, untuk tidak mengatakan mustahil


Beliau juga menyampaikan “aturan-main” ruang publik didalam masyarakat majemuk. Aturan mainnya adalah
(1) pemisahan antara publik dan privat tapi terbatas pada persoalan yang mendapat kualifikasi sebagai persoalan publik
(2) sekularisasi
(3) pemisahan antara agama dan masyarakat karena dalam pandangan beliau masyarakat merupakan wilayah otonom yang tidak dapat di intervensi begitu saja oleh kekuasaan birokratis
kemudian F.Budi Hardiman melanjutkan pembahasannya pada fungsi ruang publik itu sendiri yaitu sekurang-kurangnya ada 3 hal
(1) membatasi kekuasaan sistemis (pasar dan birokrasi)
(2) membatasi dan mendisiplinkan kekuasaan sosial (massa) lewat partisipasi dalam diskursus rasional
(3) melindungi pluralisme orientalisme nilai dan kelompok-kelompom dalam masyarakat

Akhirnya beliau menyimpulkan hubungan agama dan ruang publik dengan meminjam konsep Jurgen Habermas yang mengajukan aturan yaitu alasan-alasan religius (agama) harus dijelaskan secara rasional sehingga memiliki status epistemis yang dapat diterima oleh warga sekuler /yang berkeyakinan lain atau dengan kata lain, aspirasi-aspirasi keagamaan harus dapat diterjemahkan kedalam persoalan keadilan sosial bagi semua pihak
Tentu saja respon terhadap para pembicara seminar ini ada yang pro juga ada yang kontra namun saya tidak menampilkannya dalam tulisan ini. Jadi coretan ini hanya deskripsi dari hasil seminar tersebut atau bisa dibilang semacam rangkuman ilmu yang saya dapat dari hasil seminar ini, mudah-mudahan bisa bermanfaat.....

0 komentar:

Posting Komentar