RSS
Write some words about you and your blog here

RELIGIOUS FREEDOM AND BLASPHEMY

RELIGIOUS FREEDOM AND BLASPHEMY

“All religious followers may agree that freedom of religion or freedom of expression can’t be used to undermine others. Yet how can we actually categorize words, acts and expressions as insulting of religion? How can we settle the problem? . furthermore, can blasphemy still be considered a crime by indonesian law when religious freedom and freedom of expression are also guarantee by the constitutions

Words and expression often have many meanings and the exact intended meaning can only be aquired if we ask the person who uttered them . . . . . . . . . . .
In addition, the degree of outrage was different from one person to another. Ignatius Haryanto said,” we are talking about an ilustrations on magazine cover which has multiple interpretations. It can either be appreciated or protested against depending on people perceptions”

Blasphemy is cited in article 156 a of the criminal code. In this article it is stated that someone can be sentenced to five years in prison if he or she intentionally in public utters feelings or perform activities deemed to incite hatred, abuse or blasphemy against religions officially recognize in Indonesia

Although the word inten..........in public many be difficult to difine in court. They are very important. A person accuse of undermining religion often has no intention of insulting others. In additions, the number of religious principle protected from any insulting act might be different according to some scholars”

Tulisan diatas saya baca dari artikel jakarta post di kosan teman saya. Artikel tersebut ditulis oleh Nurrahman salah satu staf pengajar di UIN Bandung. Memang sulit kita menghukum seseorang yang melakukan penghujatan dan penistaan terhadap agama baik itu berupa lukisan, film, atau dalam bentuk apa saja yang mengatasnamakan kebebasan berexpresi atau HAM

Mengapa sulit? Karena landasan aturan yang dipegang berbeda, paradigma yang dianut oleh sang pelaku/ terdakwa dengan sang penggugat berbeda sehingga di jamin si hakim tidak akan bisa memutuskan suatu hukum yang benar terlebih lagi jika si hakimnya juga punya hukum dan paradigma yang berbeda dengan keduanya jadi masalahnya akan tambah rumit dan mengakibatkan kekecewaan banyak pihak

Nurrahman, penulis artikel tadi, menarik permasalahan tersebut pada problem penafsiran. Ia menyatakan bahwa “ word and expression often have many meanings” dan Ia menginginkan kita jangan terburu-buru menghukumi atau membuat suatu keputusan sebelum arti dari kata/tindakan seseorang itu telah ditafsirkan dengan benar dan juga dia, menurut saya, seolah-olah terjebak pada faham relativisme bisa kita lihat dari kata-katanya bahwa “the degree of outrage was different from one person to another” sehingga penulis artikel tadi, menurut saya tidak bisa menuduh dan mendiskreditkan siapapun dan pihak manapun

Jadi solusinya menurut saya yang paling penting kita harus meyakini dulu bahwa ilmu, pemahaman akan sesuatu baik itu teks atau ekspresi bisa kita dapat (baca: bisa kita fahami) dalam arti kita tidak terjebak pada fragmentasi kebenaran dan faham relativisme. Baru setelah itu kita harus menyamakan landasan atau norma-normanya karna mustahil keputusan si hakim bisa sesuai/ benar kalau landasan aturannya berbeda/ salah



0 komentar:

Posting Komentar