RSS
Write some words about you and your blog here

APLIKASI KONSEP MITOS R. BARTHES PADA AL-QUR’AN: BISAKAH??

APLIKASI KONSEP MITOS R. BARTHES PADA AL-QUR’AN: BISAKAH??
Oleh: Irfan Soleh

Definisi mitos menurut barthesian adalah cara berfikir masyarakat dalam penggalan sejarah tertentu. Barthes mengatakan (dalam bahasa john Fiske): ”A myth is a culture’s way of thinking about something, a way of conceptualizing or understanding it” ( mitos adalah cara kebudayaan tertentu berfikir tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu)

Dalam artikelnya, myth today, Barthes mendefinisikan mitos sebagai sebuah bentuk komunikasi ( a type of speech). Sebagai a type of speech, mitos merupakan bagian dari cara komunikasi masyarakat. Mitos berfungsi sebagai cara untuk menaturalisasikan apa yang sesungguhnya tidak natural alias historis. Yang tidak natural dan historis itu adalah konsep yang muncul pada zaman, tempat, dan masyarakat tertentu.

Lewat mitos, konsep ini dipakai menjadi solah-olah natural atau dengan kata lain konsep ini dipakai untuk membongkar idiologi yang bersemayam dalam lirik-lirik komunikasi masyarakat modern, atau katakanlah sebagai kritik idiologi.menurut barthes segala hal yang kita pandang, sentuh, dengar, dan rasakan bisa menjadi mitos asal ia merupakan tanda bermakna.

Dalam kerangka semiologis, dimanakah mitos bersemayam? Untuk menjawab pertanyaan ini barthes membangun sistem semiologi bertingkat melalui konsep denotasi dan konotasi. Denotasi adalah nama bagi sebuah sistem tanda tingkat pertama, dan konotasi untuk sistem tingkat kedua. Sistem-sistem ini dibangun dengan bantuan konsep-konsep Saussure yang sudah sejak lama menjadi minat barthes, namun dengan beberapa modifikasi. Denotasi tersusun dari serangkaian tanda-tanda sintagmatik yang memuat partikel-patrikel seperti signifier, signified, dan sign. Dengan kata lain, relasi signifier dan signified akan membentuk sebuah tanda (sebagaimana kata Saussure) yang pada gilirannya menjadi tanda-tanda denotatif pada sistem lapis pertama

Kemudian sistem lapis pertama akan menjadi signifier bagi sistem tanda lapis kedua. Jadi, sistem kedua yang disebut konotasi ini sepenuhnya dibentuk oleh sistem tanda lapis pertama. Layaknya denotasi, sistem konotasi juga tersusun dari serangkaian tanda yang didalamnya memuat signifier, signified, dan sign. Tapi, untuk level konotasi, barthes menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur tersebut, yaitu form,concept, dan signification. Dengan kata lain, form sejajar dengan signifier, concept dengan signified, dan signification dengan sign.

Pembedaan istilah ini sengaja dibuat Barthes karena proses signification dalam sistem tingkat pertama dan kedua tidak persis sama. Kalau sistem pertama adalah sistem linguistik, sistem kedua adalah sistem mitis yang memiliki keunikan tersendiri. Sistem kedua memang mengambil model sistem pertama, tapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pula pada sistem kedua
Berikut bagan menurut pola barthes

Signifier
(expression) Signified
(content)
Sign
(meaning)

DENOTATION

Signifier
(form)





Signified
(concept)
MYTH sign
(signification)

CONOTATION


Menurut barthes mitos bisa kita jumpai pada sistem semiologi yang terdapat pada level kedua. Disini mitos mengambil sistem tingkat pertama yang berupa sistem linguistik sebagai landasannya. Sign diambil oleh sistem tingkat dua menjadi Form. Sementara concept diciptakan oleh pembuat dan pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi nama lain, yaitu meaning karena kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Ini berarti satu kaki meaning berdiri diatas tingkat kebahasaan (sebagai sign), satu kaki yang lainnya diatas tingkat sistem mitis (sebagai form)

Kemudian jika sistem tingkat pertama kita jadikan signifier atau form, maka akan menghasilkan sistem tanda konotatif. Namun, jika sistem tingkat pertama itu kita jadikan signified atau concept, maka yang muncul adalah sistem metabahasa. Dalam struktur metabahasa, sistem tingkat pertama tidak disebut sebagai sistem denotasi, melainkan bahasa-obyek (language-object). Jika konotasi menggunakan denotasi untuk membicarakan sesuatu hal yang lain. Sistem metabahasa digunakan untuk berbicara tentang bahasa-obyek.



Signifier
(expression) Signified
(content)
Sign
(meaning)

LANGUAGE-OBJECT

Signified
(form)





Signifier
(concept)
MYTH sign
(signification)

METALANGUAGE


Dengan adanya dua model sistem mitis ini, yakni konotasi dan metabahasa, lalu dalam sistem mitis manakah mitos bersemayam? . bahwa mitos ada dalam sistem tingkat kedua atau sistem mitis itu sudah jelas, tetapi ia ada dalam ruang konotasi atau metabahasa? Barthes sendiri ragu untuk menjawabnya karna dalam karyanya Element dijelaskan bahwa mitos bersarang dalam sistem konotasi, tapi dalam Mytologi posisinya bergeser ke metabahasa

Karena Barthes sendiri kayaknya agak ragu menjawabnya, maka dalam hal ini saya hanya akan memilih salah satu saja antara konotasi dan metabahasa. Dan dalam hal ini saya akan mencoba menggunakan konotasi. Kita akan coba terapkan teori mitos tersebut kepada ayat-ayat taqdir dibawah ini, meskipun ada perdebatan di ranah epistemologis penggunaan pendekatan-pendekatan ilmu modern terhadap al-Qur’an, namun disini saya tidak akan mempermasalahkan itu. Anggap saja saya setuju dengan kelompok yang memperbolehkan penggunaannya

Sebenarnya permasalahannya adalah ketika kita mau menerapkan pendekatan ini, kita harus meyakini terlebih dahulu pengertian ontologis Al-Qur’an sebagai Mitos, setelah meyakini hal tersebut baru kita menerapkannya terhadap al-Qur’an. Dari keterangan (skripsi Roni Subayu) yang saya baca, teori mitos ini hanya bisa di terapkan terhadap ayat-ayat mua’amalah saja (tidak bisa diterapkan pada ayat-ayat ibadah )

Masih menurut keterangan yang tertera dalam skripsi tersebut, teori mitos ini mirip dengan ta’wil. Dan saya, dalam kasus ini, kesulitan “mena’wilkan” atau memberi makna pada level kedua (pada level konotasi/mitos) terhadap kata-kata قديرا (ke- Maha Kuasaaan Allah). Lain halnya dengan ayat-ayat mutasyabihat seperti يد الله pada level pertama (makna literalnya) bisa diartikan “Tangan Allah” dan pada level kedua diartikan dengan kekuasaan. Jadi jujur saja saya kesulitan memberikan makna pada level kedua pada kata قديرا dalam ayat-ayat dibawah ini sehingga jadi tidak ada bedanya antara makna konotasi dengan makna denotasinya, saya akan memberikan contoh satu ayat dari 5 ayat yang disuruh oleh Bapak Dosen
Ayat pertama adalah surat an-Nisa: 149

  •       •    • 
149. Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa.

Mula-mula kita harus mengidentifikasi setiap penanda pada tataran denotasi kedalam konsep-konsep secermat mungkin, misalnya “jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan”, “menyembunyikan atau memaafkan suatu kesalahan”, “maka sesungguhnya Allah” , “Maha pemaaf lagi Maha Kuasa”. Penanda-penanda ini selanjutnya membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) dengan makna literal: jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhNya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa

Tanda-tanda denotatif ini selanjutnya diambil sebagai Form bagi system berikutnya (konotasi). Pada tataran kedua ini, penanda-penandanya menunjuk kepada seperangkat Concept yang sama sekali diluar konotasi. Dan seperti yang dituturkan oleh Barthes bahwa untuk mengenali Concept, kita harus melacak fragmen kesejarahannya. Fragmen kesejarahan dalam konteks al-Qur’an bisa dikatakan sebagai asbabun nuzul. Namun masalahnya tidak semua ayat al-Qur’an ada asbabun nuzulnya. Jadi kata قديرا pada level kedua masih sama dengan makna denotasinya di level pertama yaitu ke-Maha Kuasaan Allah
Ayat- ayat yang lainnya adalah:
             
54. Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah[1070] dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

[1070] Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya.
              
27. Dan dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak [1211]. dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

[1211] Tanah yang belum diinjak ialah: tanah-tanah yang akan dimasuki tentara Islam.
                                
44. Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.

               
21. Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah Telah menentukan-Nya[1402]. dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

[1402] Maksudnya: Allah Telah menjanjikan kepada kaum muslimin untuk menaklukkan negeri-negeri yang lain yang di waktu itu mereka belum dapat menaklukkannya; tetapi negeri-negeri itu Telah dipastikan Allah untuk ditaklukkan oleh kaum muslimin dan dijaga-Nya dari penaklukan-penaklukan orang-orang lain. janji Allah Ini Telah terbukti dengan ditaklukkannya negeri-negeri Persia dan Rumawi oleh kaum muslimin.




Dari contoh yang saya kemukakan pada ayat pertama (an-Nisa: 149), saya menyimpulkan bahwa teori ini sulit (untuk tidak mengatakan tidak bisa) diaplikasikan pada ayat-ayat yang ada kata قديرا nya. Saya sudah berusaha Pertama memahami dulu konsep/teori mitosnya Roland Barthes dengan membaca buku Semiotika Negativa karya St Sunardi, kemudian Literary Theory: An Anthology Editted By Julie Rivkin And Michael Ryan dan Kedua mencoba memahami bagaimana aplikasinya terhadap al-Qur’an dengan membaca artikel-artikel dan skripsi yang membahas masalah semiotika khususnya teori Rholan Barthes
Namun apa daya tangan tak sampai, dengan usaha memahami hal-hal diatas yang memakan waktu tidak sebentar saya gagal menerapkan teori “Mitos” Rholand Barthes terhadap ayat-ayat yang Bapak tugaskan




0 komentar:

Posting Komentar